Beginilah Penjelasan Hukum Pacaran Dalam Islam
Penjelasan Hukum pacaran dalam islam sebenarnya sudah ada dalam berbagai dalil. Namun masih banyak yang mempertanyakan bagaimanakah hukumnya dan apa bedanya dengan ta’aruf.
Jika kita perhatikan, kini kian banyak orang yang melakukan pacaran. Dalam pelaksanaannya yaitu sebuah proses lawan jenis saling mengenal.
Biasa juga diibaratkan sebagai rasa cinta yang kita wujudkan di sebuah hubungan. Pacaran pun semakin marak dan menganggapnya sebagai hal yang lumrah. Namun, di dalam islam seperti apakah hukum berpacaran.
Bagaimana Penjelasan Hukum Pacaran dalam Islam?
Perlu untuk kita ketahui kalau pacaran adalah budaya Barat yang saat ini sudah banyak diadaptasi serta dilakukan di berbagai Negara lainnya. Tak terkecuali di Indonesia, meskipun mayoritas penduduknya termasuk dalam umat Muslim paling banyak di dunia.
Apabila hanya melakukan interaksi berupa sosialisasi boleh, asalkan tidak menjurus kepada tindakan yang sudah jelas larangan syara’. Bagaimana maksudnya? Yaitu yang bisa mendekatkan kita dengan tindakan perzinahan.
Dalam Islam sendiri, jika membicarakan hukum berpacaran dalam islam dan dalilnya, tidak ada dasar ayat dalam Al-Qur’an maupun Hadis yang mengajarkan untuk berpacaran.
Padacaran dapat mendekatkan pada perzinahan, untuk terhindar darinya maka antara dua orang Muslim yang saling mencintai bisa melaksanakan pernikahan.
Seperti keterangan dalam Al-Quran surat al-Isra’ ayat 32 tentang larangan perzinahan:
وَلاَ تَقْرَ بُوا الزِّ نَا إِنَّهُ كَا نَ فَا حِشَةً وَسَا ءَ سَبِيلاً
Di ayat tersebut terdapat larangan untuk mendekati zinah. Sebab zinah merupakan perbuatan ke jalan yang buruk serta keji.
Sesuai dengan penjelasan di hadits Rasul mengenai model tindakan yang dapat mendekatkan perzinahan.
عَنِ ابْنِ عَبَّا سٍ رَ ضِي ا للهُ عَنْهُ أَ نَّهُ سَمِعَ ا لنَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُو لُ لاَ يَخْلُوَ نَّ رَ جُلٌ بِا مْرَأَ ةٍ وَ لاَ تُسَا فِرَ نَّ امْرَ أ َةٌ إِلاَّ وَ مَعَهَا مَحْرَمٌ ( رواه البخاري)
Hadist tersebut menjelaskan tentang Ibnu Abbas yang mendengar Rasul berkhutbah. Beliau berkata agar jangan sekalipun lelaki berkhalwat dengan seorang perempuan, kecuali ada pula mahramnya. Jangan pula seorang perempuan bermusafir, kecuali beserta mahramnya. (Mutaffaq alaihi).
Jika Anda telah mampu untuk menikah maka laksanakanlah, begitu anjuran di Islam. Anjurkan demikian itu supaya kita tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat yang hanya akan merugikan diri kita sendiri.
لَمْ أَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ
Hadist di atas dari riwayat Ibnu Majah yang menerangkan bahwa tidak ada solusi bagi dua orang yang saling atau sedang mencintai, melainkan pernikahan.
Hukum Larangan Berpacaran
Secara tidak langsung Rasul sudah memberikan rambu atau peringatan kepada umatnya mengenai model hubungan antara lelaki dan perempuan yang terlarang dan selalu berharap hanya kepada Allah.
Larangan itu guna menghindarkan kita terjerumus pada perzinahan. Sebab biasanya terjadi perzinahan bermula dari adanya situasi berduaan antara pria dan wanita.
Begitulah dasar hukum pacaran dalam islam dilarang. Jika yang Anda maksud pacaran itu adalah Pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan sudah jelas dilarang.
Walaupun tujuan pacaran adalah pernikahan, harus ditekankan lagi pernikahan yang benar itu tidak melalui berpacaran. Tetapi mengidentifikasi bagaimana karakter calon pasangan. Bisa kita lakukan dengan cara hukum syariat islam.
Pada saat pernikahan terlaksana menurut hukum Syariah Islam, maka kehidupan rumah tangga akan terlimpahi keberkahan serta berada di bawah lindungan Allah SWT.
Rasulullah SAW pun bersabda yang isinya Rasul berseru agar siapapun yang memiliki kemampuan, maka segera menikahlah. Sebab pernikahan itu bisa menjaga kita dari pandangan maksiat dan juga menjaga kemaluan dari zinah. Apabila belum mampu sebaiknya berpuasa sebagai pengendali hawa nafsu.
Perbedaan Ta’aruf dengan Pacaran
Dalam islam memang tidak ada ajaran untuk pacaran, akan tetapi beda hukumnya apabila maksud dari pacaran adalah upaya saling mengenal guna menjajaki kemungkinan untuk menjalin pernikahan dalam momentum khitbah melamar.
Sebab hal itu sama dengan mendukung anjuran Rasul terhadap generasi muda muslim untuk menikah, sebagai solusi diri terhindar dari perzinahan.
عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَا لَ لَنَا رَسُو لُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَا بِ مَنِ اسْتَطَا عَ مِنْكُمُ الْبَا ءَةَ فَلْيَتَزَ وَّجْ فَإ ِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ أَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِا لصَّوْمِ فَإِ نَّهُ لَهُ وِجَاءٌ * (رواه مسلم)
Hadis muslim di atas menjelaskan mengenai perkataan Nabi SAW yang Anna RA dengar, yaitu nabi menjalani salat, tidur, berbuka dan juga mengawini perempuan. Maka siapapun yang membenci sunnahnya bukan termasuk golongan nabi.
Masih boleh pacaran dengan arti dan maksud meminang atau melamar guna berupaya mencari kesepahaman atau proses pengenalan demi ke jenjang pernikahan.
Sebagaimana keterangan dalam At-Tahdzib fi Adillati Matnil Ghayah wat Taqrib tentang batasan pandangan laki-laki ke perempuan.
والر ابع النظر لا جل النكا ح فيجوز الى الو جه و الكفين
Dalil tersebut menerangkan bahwa salah satu dari tujuh macam pandangan laki-laki terhadap wanita ialah melihat untuk maksud menikahi. Memandang muka dan telapak tangannya itu boleh.
Rasul SAW pun mengajarkan perlunya proses perkenalan serta menganjurkannya, walau dalam waktu yang singkat. Sebagaimana pengalaman Al-Mughirah bin Syu’bah saat meminang seorang wanita.
Maka Rasulullah berkomentar kepadanya, supaya Al-Mughira melihat wanita itu, sesungguhnya dengan melihat itu bisa menjadi lauknya cinta mereka berdua.
Karena itu DM Tours menyimpulkan, segala macam bentuknya, hukum pacaran dalam islam tidak bisa dibenarkan. Kecuali apabila pacaran yang bermakna khitbah, sebatas membolehkan seorang pria hanya memandang wajah dan juga telapak tangan perempuan, tidak lebih.